Halo pembaca, kali ini saya mau sedikit sharing pendapat dan pengalaman seputar berkendaraan di Jakarta selama seminggu terakhir yang saya alami. Kisah kali ini ringan saja sifatnya, tidak akan ada hal-hal yang sifatnya teoritis dan segala tetek-bengeknya. Hanya kisah-kasih selama saya berkendara berkeliling kota tercinta penuh polusi ini.
Mengagetkan, merupakan kata yang tepat digunakan untuk menggambarkan apa yang terjadi selama saya mengendarai mobil di Jakarta seminggu terakhir ini. Setelah vakum duduk di belakang kemudi selama kurang lebih 2 bulan. Saya akhirnya mengemudi kembali karena ada keperluan seputar otomotif di daerah Kresek, Jakarta Barat. Selama berkendara menuju kesana dan dari sana, saya menjumpai cukup banyak perilaku ‘brutal’ (kita sebut saja begitu) para pengendara lainnya. Baik itu sepeda motor, mobil, truk, bis, maupun sepeda genjot, hampir semua yang saya lalui dan lihat di jalan menampilkan ‘perilaku’ yang menurut saya mengkhawatirkan.
Hilang sudah etika berkendara di Jakarta nampaknya. Tidak ada lagi ‘tanda’ yang diberikan dalam bentuk lampu sein ataupun lambaian tangan ketika hendak berganti jalur atau berbelok. Bahkan ketika seorang pengendara motor secara tidak sengaja menyenggol kaca spion mobil saya, mengangkat tangan sebagai isyarat ‘minta maaf’ pun tidak dilakukan. Persimpangan dengan lampu merah pun tidak diindahkan di beberapa tempat, sebut saja di pertigaan Gedong Raya (arah Depok, Condet, dan Pasar Rebo). Motor maupun mobil dengan seenaknya ‘nyelonong’ bahkan ketika jalur mereka jelas-jelas sedang merah lampu lalu lintasnya.
Apapun sebabnya, hal-hal semacam ini jika dibiarkan berlarut-larut bisa menimbulkan kericuhan massal. Sebagaimana yang saya pahami berdasarkan apa yang disampaikan oleh Hamdi Muluk, seorang pakar psikologi dari Universitas Indonesia dalam Kompas cetak(saya lupa edisinya, tapi bulannya September). Bagaimana tidak, sikap dan perilaku ‘ugal-ugalan’ yang ditunjukkan oleh setiap pengemudi kendaraan bermotor bisa dianggap ’stressor’ (sumber stress) oleh pengendara lainnya. Boleh jadi toleransi para pengendara pada akhirnya akan menurun dan tindakan ‘anarkis’ pun dilakukan dengan sengaja. Misalnya, sengaja menyenggol spion kendaraan lain dalam rangka ‘mengingatkan’ pengendaranya bahwa ia telah mengemudi secara sembrono (menurut persepsi yang melakukan penyenggolan). Nah, bukankah tindakan ini juga dianggap sebagai sebuah kesembronoan oleh ‘korban’ penyenggolan? Jika sudah begini, kita tinggal menghitung mundur waktu dan meledaklah amuk massa akibat satu sama lain saling berprilaku ‘barbar’.
Jujur saja, tingkah-laku semacam yang saya jabarkan di atas itu benar-benar mengesalkan dan kurang bisa ditoleransi. Masih tidak apa-apa kalau hanya saya seorang yang merasa demikian, itu artinya ada subyektivitas di sini. Saya memang terlalu skeptis dengan kondisi lalu lintas Jakarta. Tapi kalau sudah lebih dari beberapa orang yang menyuarakan hal serupa, bahkan hingga masuk artikel analisis di Kompas yang ditulis oleh seorang dosen fakultas negeri, bukankah ini berarti memang Jakarta punya kondisi lalu-lintas yang mengkhawatirkan?
Sekarang, jalan-jalan di Jakarta hanya menyenangkan dilakukan ketika waktu sudah lewat dari pukul 11 malam. Kenapa demikian? Jalanan sepi kawan! Hiruk-pikuk jam padat pengendara, terutama jam pulang kantor, tidak akan bisa elo temukan. Kalaupun ingin dilakukan siang hari, coba saja dilakukan di hari raya Idul Fitri. Rasanya sama saja, sepi dan tidak ada hiruk pikuk pengendara brutal.
Memprihatinkan, ini satu kata yang juga tepat digunakan untuk menggambarkan kesemrawutan Jakarta terutama lalu lintasnya. Budaya tertib lalu lintas di Jakarta tinggal semboyan saja. Pelbagai rambu dan marka jalan yang terpasang tidak lagi diindahkan. Bahkan marka penyeberangan jalan (zebra cross) pun tidak lagi dianggap meskipun ada orang yang sedang menyebrang di atasnya.
Jakarta, kasihan benar dirimu…aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berjuang dengan semangat kemandirian untuk memperbaikimu dimulai dari diriku sendiri…
disadur dan diedit dari guekiller.wordpress.com