Rekap Ulang Talkshow Komunikasi Kesehatan

Hari Sabtu tanggal 12 Februari 2011, saya menghadiri sebuah talkshow di universitas Yarsi dengan tema Komunikasi Kesehatan. Talkshow ini menghadirkan Prof. dr. Menaldi Rasmin Sp. P(K) sebagai pembicara dari bidang kedokteran, Evy Damayanti S.Psi, Psi sebagai psikolog RS Dharmais, satu orang pembicara ahli psikologi kesehatan Dra. Eunike Sri Tyas Ph.D, dr. Hendria Kessek selaku perwakilan Yayasan Kanker Indonesia, dan aktris senior perfilman Indonesia Rima Melati selaku masyarakat umum dengan pengalaman “terminal illness”.

Talkshow ini diadakan dengan tujuan memberikan masyarakat gambaran dan kerangka berpikir ideal mengenai bagaimana peran dokter, pasien, dan psikolog dalam membangun sebuah rangka komunikasi yang baik dalam praktik dunia kesehatan. Acara dibuka oleh Dekan Fakultas Psikologi Universitas Yarsi (saya lupa namanya, maaf ibu Yth), dikawal oleh MC seorang psikolog (saya juga lupa namanya, maaf ya mbak), dan diketuai oleh seorang kawan saya Sunu Bagaskara S.Psi, M.Psi 🙂

Perbincangan dibuka oleh dr. Menaldi langsung, beliau bercerita mengenai kontribusi dunia kedokteran dan fakultas kedokteran di Indonesia terhadap dunia kesehatan. Beliau juga bercerita mengenai obrolan singkatnya bersama bu Eunike mengenai kebutuhan fakultas kedokteran (kelak) atas tes psikologis agar setiap mahasiswa (kelak calon dokter) tidak hanya memiliki kemampuan intelegensi yang memadai namun juga kematangan psikologis dan kesiapan mental untuk menjadi seorang dokter profesional. Selain itu, secara kurikulum setiap fakultas kedokteran juga perlu belajar mengenai empati secara lebih mendalam agar nantinya mampu memahami dengan lebih baik kondisi pasien.

Cerita singkat beliau dilanjutkan oleh presentasi bu Eunike mengenai dunia psikologi kesehatan, bahwa secara teori komunikasi kesehatan memegang peranan penting terhadap kesembuhan pasien. Di bagian ini, saya tidak bisa banyak bercerita karena selain keterbatasan daya ingat beliau juga tidak melampirkan materi tercetak untuk kami para audiens. Selanjutnya, beliau membahas bagaimana komunikasi yang efektif dapat membantu pasien, dalam hal keterbukaan informasi, dan kenyamanan yang diperoleh atas komunikasi dengan tim medis yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan pasien. Beliau menyampaikan beberapa lembaga swadaya masyarakat yang berdiri di bawah naungan Unika Atma Jaya Jakarta, salah satunya yang bisa saya ingat adalah Pulih. Sebuah LSM yang bergerak di bidang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bertujuan membantu para korban KDRT kembali menjalani hidup normal setelah pengalaman traumatis yang dialami.

Pada bagian akhir presentasi, bu Eunike menggambarkan sebuah timeline perjalanan pengobatan pasien mulai dari pertama kali datang ke dokter untuk pemeriksaan medis, diagnosis, proses treatment, hingga proses pasca pemulihan (atau operasi). Dalam timeline tersebut, beliau memaparkan bahwa psikolog atau sarjana psikologi memiliki berbagai fungsi dan peranan berbeda-beda. Misalnya, saat proses pemeriksaan medis, pengetahuan atas ilmu kesehatan dapat dibagikan kepada pasien oleh psikolog atau sarjana psikologi dengan menggunakan bahasa awam dan pemahaman empatik terhadap kondisi pasien. Contoh lainnya, saat proses pasca pemulihan, misalnya seorang eks pasien kanker, tentunya akan memiliki pengalaman traumatis dan konsep diri yang berubah akibat sakit yang dideritanya (walau kemudian telah dipulihkan, misalnya dengan jalur operasi). Psikolog atau sarjana psikologi, menurut bu Eunike, memiliki peranan terhadap restorasi kualitas hidup (quality of life) setelah proses pemulihan selesai.

Setelah dua pembicara dari bidang psikologi dan kedokteran, aktris Rima Melati angkat bicara mengenai pengalamannya mengalami dua kali kanker, yaitu kanker kolon (usus) dan kanker payudara. Secara garis besar, beliau bercerita mengenai kanker yang dialaminya dan stigma masyarakat saat itu (tahun 1980an saat didiagnosis terkena kanker payudara) mengenai kanker sebagai sebuah penyakit kutukan. Bahwa setiap orang yang terkena kanker merupakan orang yang memiliki banyak dosa, bahwa kanker seolah pantang untuk dibicarakan di muka umum. Kanker kolon dan proses pengobatannya dilalui beliau dengan baik karena deteksi dini yang dijalaninya. Beliau segera datang ke dokter begitu dirasakannya ada ketidaknyamanan/ sakit di area tertentu di perutnya. Namun, saat kanker payudara hinggap di tubuhnya, beliau terlambat untuk melakukan pemeriksaan medis dan pengobatan. Saat itu beliau hanya dihadapkan pada pilihan untuk melakukan operasi pengangkatan payudara seutuhnya, sehingga hasilnya nanti adalah hidup dengan satu payudara saja.

bu Rima menceritakan bagaimana dokter di RS Sumber Waras saat itu menangani beliau secara terbuka, menjawab setiap keingintahuan beliau mengenai penyakitnya, konsekuensi-konsekuensi yang akan dijalani kelak pasca operasi, dsb. Sebuah keterbukaan dan efektifitas komunikasi yang menurutnya membantunya menghadapi proses pengobatan dan pemulihan dengan siap dan tegar karena ia tahu persis apa yang akan dijalaninya. Tidak ada keraguan atau ketakutan yang didasari ketidaktahuan mengenai apa yang terjadi. Lantas beliau bercerita mengenai transfer pengobatannya ke sebuah RS di Belanda, atas masukan dari suaminya, kerabat, dan dokter yang menangani beliau. Beliau memaparkan bagaimana treatment yang dialaminya saat di Belanda, bahwa di sana beliau tidak perlu kehilangan payudara. Diinformasikan oleh pihak dokter operasi di Belanda (tahun 1980an) sudah cukup canggih sehingga pasien pengidap kanker payudara tidak perlu kehilangan payudaranya pasca operasi, hanya dilakukan pengangkatan tumor saja. Informasi ini menurut beliau membantu menenangkan dirinya, setelah sebelumnya ia khawatir bagaimana ia akan hidup dengan satu payudara dan harus menghadapi kenyataan bahwa ia “tidak utuh” sebagai manusia.

Perbincangan dilanjutkan oleh psikolog RS Dharmais Evy Damayanti. Dalam kesempatannya presentasi beliau memaparkan mengenai peran psikolog dalam setting medis, bentuk komunikasi pada pasien, serta indikator keberhasilan komunikasi. Sebagai konselor psikolog bertugas memberikan terapi dan konseling pada pasien maupun keluarga pasien. Pihak pasien dan keluarga perlu mendapatkan pemahaman atas masalah dan penyakit yang diderita. Informasi yang adekuat perlu disampaikan demikian juga untuk meluruskan persepsi atas informasi yang yang tidak sesuai. Pemberian dukungan terhadap keluarga pasien juga penting, karena mereka biasanya membutuhkan motivator agar tetap tabah menjalani seluruh proses medis.

Komunikasi terapeutik merupakan istilah yang digunakan bu Evy. Ini adalah satu bentuk komunikasi yang mendorong kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik bertujuan untuk membantu pasien memperoleh kejelasan dan mengurangi beban perasaan maupun pikiran. Karaktersitik konselor yang perlu dimiliki oleh seorang konselor adalah kejujuran, tidak membingungkan, sikap positif, empati, mampu melihat dari kacamata pasien, menerima pasien apa adanya, sensitif terhadap perasaan pasien, dan tidak terpengaruh oleh masa lalu pasien maupun diri konselor sendiri (Suryani, 2005).

Bu Evy memaparkan sejumlah teknik komunikasi terapeutik menurut Stuart dan Sundeen (1998) yang saya rasa tidak perlu dijabarkan terlalu panjang di sini. intinya adalah, seorang konselor harus memiliki kemampuan untuk mendengar aktif, berempati terhadap pasien, mampu bertindak (atau diam) dalam situasi tertentu, serta memberikan penghargaan terhadap pasien atas perilaku-perilaku positif (misalnya, disiplin menjalani pengobatan). Satu hal yang saya catat bahwa komunikasi terapeutik memiliki indikator keberhasilan dan efektifitas dalam bentuk adanya pengertian dari pasien atas pesan yang disampaikan tim medis, adanya perasaan senang setiap kali dikunjungi oleh tim medis, terjadi perubahan sikap yang positif terkait proses pengobatan, menumbuhkan keterbukaan kondisi dirinya dengan lingkungan sekitarya secara positif, serta pasien mampu beradaptasi, berpikir positif, dan mau berjuang melawan penyakitnya sekaligus memiliki semangat hidup.

Setelah pemaparan singkat oleh bu Evy, dr. Hendria selaku perwakilan dari Yayasan Kanker Indonesia menyampaikan sejumlah organisasi nirlaba yang berada di bawah naungan YKI dan berfungsi sebagai support sosial dan medis terhadap masyarakat yang mengalami penyakit kanker. Secara singkat beliau mempresentasikan program-program yang dimiliki tiap organisasi. Terdapat tim dokter untuk melakukan kunjungan ke rumah pasien dengan penyakit kanker, dan beliau berencana menghadirkan psikolog untuk kunjungan pasca operasi mengingat disiplin ilmu psikologi memiliki peranan untuk melakukan konseling dan restorasi motivasi hidup bagi pasien.

Perbincangan dilanjutkan kembali oleh bu Rima untuk bercerita bagaimana pengalamannya di Belanda saat dikunjungi oleh tim psikolog dan dokter selama masa pengobatan dan pemulihan di sana. Kehangatan dan perhatian yang diberikan oleh perawat (terutama) setiap pemeriksaan harian, dokter, dan psikolog (saat harus konseling sebelum menjalani operasi) membantunya tetap memiliki motivasi dan semangat hidup meskipun harus menjalani proses operasi atas kanker yang saat didiagnosis sudah memasuki stadium 3.

Satu catatan dari Bu Rima adalah, bahwa manusia bisa sakit dan berobat, namun kesembuhan diberikan oleh Tuhan. Beliau mengingatkan hadirin untuk selalu berdoa dan meminta hidup sehat padaNya. Beliau kembali mengingatkan para hadirin (yang sebagian besar adalah anak muda) untuk bergaya hidup sehat, karena ia mengakui kanker yang dideritanya barangkali disebabkan oleh gaya hidup tidak sehat yang ia jalani sebagai aktris di masa mudanya dahulu. Misalnya, merokok, minum alkohol, begadang hingga pagi, kurang olahraga, dsb.

Talkshow dilanjutkan dengan dibukanya sesi tanya jawab dengan peserta yang hadir saat itu. Tidak semua tanya dan jawab mampu saya ingat dengan baik, namun ada beberapa pertanyaan yang berkesan bagi saya. Pertama ada seorang penanya yang mengajukan pertanyaan mengenai seberapa jauh pasien berhak mengetahui informasi mengenai penyakitnya dan obat-obatan yang akan dikonsumsinya, mengingat beberapa orang memiliki sifat ‘nakal’ dan cenderung membeli obat di luar resep setelah mengetahui kandungan kimiawi obat yang diteirmanya. Dr. Menaldi menjawab bahwa pasien berhak mengetahui segala macam informasi yang perlu diterimanya, karena tubuh pasien adalah hak pasien itu sendiri. Mengenai obat, beliau juga menambahkan bahwa setiap orang unik, memiliki reaksi terhadap zat kimiawi secara berbeda, sehingga menjadi hak pasien untuk tahu apa yang akan terjadi pada tubuhnya apabila obat-obatan yang dianjurkan dikonsumsi. Pasien juga berhak untuk bertanya apabila mengalami ketidakjelasan, sekaligus berhak untuk minta ganti dokter dan meminta rujukan/ rekomendasi apabila dokter saat itu kurang sesuai dengan pasien (tidak nyaman, lokasi berobat terlalu jauh, dsb).

Pertanyaan lain yaitu seputar bagaimana peran psikologi dalam menanggapi dunia pengobatan tradisional yang lebih dipilih oleh masyarakat sehubungan dengan pengetahuan masyarakat yang terbatas mengenai dunia medis. Pertanyaan ini dijawab oleh dr. Menaldi, bu Eunike, dan bu Evy, secara bergantian mereka menjelaskan bahwa sudah menjadi tanggung jawab bersama antara pasien dan tim medis untuk melakukan komunikasi. Pasien boleh saja melakukan pengobatan alternatif, namun tim medis (dokter dan psikolog) perlu juga mengomunikasikan konsekuensi yang akan dialami apabila menjalani pengobatan tertentu (kemoterapi, ke dukun alternatif). Penekanan pada hubungan dokter-pasien yaitu saling terbuka dan saling menginformasikan agar tercapai kejelasan mengenai apa yang dibutuhkan dan apa yang diinginkan, termasuk menginformasikan pasien dengan menggunakan bahasa-bahasa awam agar pasien lebih baik memahami (seringkali dokter keceplosan menggunakan istilah medis yang tidak dimengerti pasien). Menurut dr. Menaldi, sulit untuk melepaskan unsur kultural dari kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga idealnya dunia medis modernlah yang bergabung dan bekerja sama dengan dukun-dukun pengobatan tradisional. Mengajarkan mereka prosedur medis yang steril dan memberi tahu batasan-batasan dimana mereka sebaiknya menghubungi pihak medis profesional saat menghadapi situasi dimana kemampuan mereka tidak cukup untuk menanganinya (misalnya: kehamilan bermasalah dihadapi oleh dukun beranak). Peran dari psikolog kesehatan adalah untuk secara aktif menyebarluaskan pengetahuan mengenai dunia kesehatan terhadap masyarakat awam sehingga masyarakat bisa secara aktif melakukan “deteksi dini” dan melakukan pengobatan sebelum terlambat. Selain itu, pemaparan mengenai perilaku dan gaya hidup sehat juga penting untuk disebarluaskan pada masyarakat agar stigma mencegah lebih baik daripada mengobati betul-betul terlaksana.

Penanya lain membicarakan mengenai undang-undang kesehatan yang hanya melibatkan dokter saja, tanpa mengikutsertakan psikolog atau sarjana psikologi. Menurut bu Eunike dan dr. Menaldi, masyarakat psikologi perlu secara aktif melakukan seminar, promosi-promosi kesehatan psikologi, talkshow serupa, agar masyarakat awam lebih memahami peran dan fungsi ilmu psikologi dalam kehidupan keseharian. Sehingga pada prakteknya kelak tanggung jawab medis diemban bersama oleh tim dokter, perawat, dan psikolog yang bertugas menunjang pengobatan, pemulihan, dan pengembalian motivasi hidup pasien terutama mereka yang mengalami penyakit-penyakit kronis.

Sekian review acara talkshow Komunikasi Kesehatan yang saya hadiri, semoga informasi ini membantu mencerahkan dan membuka sedikit wawasan mengenai dunia kesehatan. Terima kasih telah membaca 🙂

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s