Tulisan ini kubuat dengan penuh kantuk dan antusiasme. Kantuk menjaga agar pikiran tetap terbuai kejadian-kejadian hari ini, antusiasme menjaga agar badan tetap mampu mengetik hingga selesai. Suatu kombinasi yang padu-padan.
Jadi, hari ini diawali dengan adanya kejutan di siang hari. Datang seseorang ke rumahku dengan menumpang kendaraan umum. Perlu dicatat bahwa rumahnya berada nun jauh di sana, puluhan kilometer dari rumahku. Tetap ia bersikeras datang kesini, sedang ingin keluar rumah katanya. Kedatangannya kusambut dengan kasih sayang dan senyum lebar, sebuah pelukan, dan dilanjutkan dengan obrolan santai mengenai apa yang terjadi selama seminggu terakhir dalam hidup kami masing-masing.
Setelah puas mengobrol hingga sore hari, kami memutuskan untuk bepergian keluar rumah. Ada tawaran menonton film di bioskop dari saudara kandungnya, kusambut pintanya. Kapan lagi bisa nonton ramai-ramai, pikirku. Selama ini kalau menonton paling sering di kamar atau ruang keluarga masing-masing, asik dengan kepingan-kepingan DVD dalam bungkus plastik tipis. Keputusan soal film diserahkan pada si saudara, ternyata film berjudul “Lebah Hijau” yang akan kami tonton. Tidak rugi, setelah 150 menit berada dalam ruang bioskop, kami keluar dengan senyum lebar sambil berkata “bagus”.
Terasa lapar di perut, kami putuskan untuk makan. Sayangnya, waktu sudah menunjukkan pukul 21.25 WIB, artinya sebagian besar kios dan kedai makanan sudah bersiap untuk tutup. Hanya lima menit jelang batas waktu pemesanan terakhir, rugi sungguh jika kami paksakan makan di salah satu kedai yang ada. Jadi kami putuskan untuk keluar gedung bioskop dan mencari makan di pinggir jalan. Beruntung, kami bertemu seorang kolonel baik hati yang siap sedia menjajakan ayam gorengnya yang khas selama 24 jam. Meskipun pelayanan agak lambat, kami puas, karena akhirnya berhasil mengisi perut yang sudah telanjur lapar sejak masuk ke dalam bioskop tadi.
Pulanglah kami ke rumah seseorang yang telah rela jauh-jauh datang ke rumahku menempuh puluhan kilometer. Setelah merasa cukup berbincang tentang peristiwa-peristiwa hari ini, kuputuskan untuk pulang saja. Malam sudah terlalu larut, dingin, dan kurang bersahabat untuk bisa kulanjutkan obrolanku di ruang tamu rumahnya. Setelah ijin menumpang buang air kecil, kupakai sepatuku, lalu bergegas ku pulang. Tentunya tidak lupa pamit dengan yang empunya rumah.
Selama berkendara, terasa kotor mobil ini, kulihat kaca depan banyak memiliki bercak-bercak yang tidak bisa kuingat darimana asalnya. Teringat ada cuci mobil 24 jam di sepanjang jalan Tanjung Barat, kuputuskan untuk mampir sebentar di situ dan mencuci mobil ini. Sambil menunggu mobil dimandikan, kuangkat telepon genggamku dan kuhubungi sebuah nomor yang kusimpan dalam panggilan cepat urutan kedelapan. Maka berbincanglah kami mengenai bagaimana sebaiknya pulang malam saat wakuncar dan hal-hal lainnya. Putusan dijatuhkan, kami sepakat untuk mengambil sikap atas hal-hal yang kami diskusikan di telepon genggam masing-masing. Sesuai dugaan, mobil pun selesai dimandikan dan sudah kering. Setelah kubayar maka pulanglah aku ke rumah, meninggalkan area cuci mobil.
Kantuk semakin menjadi tatkala mengendarai mobil yang baru saja kelar mandi. Namun aku terhenyak seketika, menyadari ada perubahan kecil pada tampilan yang biasa mataku lihat. Seonggok stiker berbentuk segitiga berwarna putih tidak lagi ada di pojok kaca depan. Maka kutepikan mobil, kunyalakan lampu dalam mobil untuk mencari benda segitiga putih itu. Cukup yakin bahwa stiker kecil itu betul-betul tidak ada di mobil, maka segera kupacu mobilku kembali ke tempat mandinya. Tanpa banyak basa-basi kuhardik pencucinya, menanyakan dimana stiker putih yang tadinya bertengger di pojok kaca depan mobil ini. Setengah ragu ia menjawab bahwa stiker tersebut terjatuh saat rumah panel-panel dan sisi dalam kaca depan sedang dilap. Tanpa mempedulikan alasan yang ia kemukakan, kuambil stiker tersebut, kuputarbalik mobil lalu kupacu hingga tiba di rumah.
Bukan tanpa alasan sikapku keras terhadap para buruh cuci tersebut. Sudah tiga kali kualami kehilangan serupa. Setiap kali aku kembali untuk bertanya, selalu sama jawabannya “mungkin jatuh, di sini tidak ada”. Bagaimana mungkin benda yang sudah dipatri untuk bertengger mantap di pojok kaca depan bisa jatuh dan tidak menangkap perhatian siapapun yang bekerja di sekitar situ? Akupun pernah menjadi buruh cuci pribadi, setiap kali ada sesuatu terjatuh akibat ulah hiperaktifku saat bekerja dan mencuci maka saat itu juga aku tersadar dan mengembalikan benda apapun itu ke posisinya semula sebelum jatuh. Mungkin hanya aku, tidak orang lain, bisa tersadar segera saat ada sesuatu yang jatuh dan berubah di sekitar. Cukup sudah, tiga kali kehilangan dengan alasan “jatuh” tidak lagi kutolerir. Hardik keras, menurutku, kalau tidak mereka tidak akan pernah belajar untuk tidak mengelabui pelanggan dengan memasang tulisan “Harap Periksa Kembali Barang Bawaan Anda Jangan Sampai Kehilangan Kami Tidak Bertanggung Jawab”.
Sambil memacu mobil dengan kencang, aku menyadari bahwa ada yang aneh dengan jalanan di hari Minggu dini hari ini. Terlalu sedikit mobil, bus, truk, dan angkot yang lalu-lalang, namun herannya sangat banyak motor yang berseliweran dengan kecepatan tinggi. Hendak mencari tahu ada apa gerangan, jarum penunjuk isi tangki bensin menegurku untuk segera mengisi tangki yang ia ukur selama ini. Gontai kelopak mata ini, hendak kubelokkan mobil menuju SPBU terdekat. Tertegun sejenak diriku dengan teriakan-teriakan kasar dari para pengendara motor. Rupanya sedang ada balapan liar, dan mobilku yang berada dalam posisi setengah menghalangi jalan raya karena hendak putar balik untuk masuk SPBU ternyata mengganggu pesta adrenalin mereka malam itu. Kubalas teriakan mereka dengan pasang ekspresi marah dan kumimikkan sumpah serapah pada salah seorang yang jelas terlihat menghardikku. Tiada respon, mereka hanya bisa terdiam, “Pengecut! Hanya berani beramai-ramai!”, pikirku.
Tidak mau ambil pusing, segera kuparkirkan mobil di posisi pengisian bahan bakar di SPBU tersebut. Setelah kurasa cukup terisi, dan jarum petunjuk tidak lagi menuding dan mengindikasikan bahwa tangki perlu diberi ‘minum’ maka kubayar petugas SPBU atas berapa liter yang kuambil dari tokonya. Tidak lama kemudian, kupacu mobilku pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku terhenyak karena pintu rumah masih dirantai, padahal orang-orang di rumah tahu bahwa aku akan pulang larut. Cukup kesal aku malam itu, sudah bertubi-tubi dihajar berita buruk, balap liar, ditambah lagi tidak bisa masuk rumah sendiri hanya karena seutas rantai di pintu depan. Hendak kudobrak, namun tidak lama adikku datang membukakan rantai. Ia menyalahkan pembantu kami karena lalai melepasnya. Setelah kupikir-pikir, kalau aku selama ini selalu pikir panjang bagaimana orang akan pulang dan masuk ke rumah, kenapa mereka tidak pernah memikirkan hal yang sama. Sudah jelas aku belum ada di rumah, tapi pintu justru dikunci dan dirantai. Beruntung adik masih bangun, kalau tidak barangkali aku sudah tidur di depan pagar.
Yah, kurasa cukup berbagi cerita hari ini. Kantuk perlahan membinasakan antusiasme. Kuakhiri saja tulisan ini, yang penting pesan hari ini tersampaikan dan mudah-mudahan dibaca oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Amarahku atas beberapa kejadian hari ini sudah cukup mereda dengan menulis, terima kasih Tuhan untuk karunia dan berkah menulis yang Kau berikan padaku. Alhamdulillah đŸ™‚