Hari ini, 4 Juni 2011, tepat ku berusia seperempat abad sudah. Perbandingan usiaku dengan usia orangtuaku pun sudah memasuki 1: 2, akhirnya jarak usia kami mulai mengecil. Sesuatu yang patut disyukuri, karena aku akhirnya bertambah tua dan mengenyam sekolah pengalaman kehidupan, namun sekaligus mengkhawatirkan karena artinya akhir hayat pun mendekat.
Hari yang istimewa, seolah tidak henti-hentinya aku dihadapkan pada masalah keberanian bertindak dan memecahkan masalah. Terbangun pagi hari oleh suara telepon bapak, kutahu bahwa kendaraan ibu mogok di halaman depan rumah. Bergegas kulari ke depan rumah untuk memeriksa. Setelah yakin, kuberitahu semua penghuni rumah masalahnya ada di pompa bahan bakar. Cepat kutelepon montir dan bengkel untuk menanyakan suku cadang dan kemungkinan servis di rumah. Tanpa berbelit, kusimpulkan mobil ini baru bisa diperbaiki esok pagi.
Hari ini, salah seorang kawanku menikah dengan pria pilihannya. Resepsi pernikahan dihadiri handai taulan berbalut adat Tapanuli Selatan. Asing rasanya, mendengarkan tegur sapa, ramah tamah, sambutan, tarian, serta nyanyian menggunakan bahasa asli Tapanuli. Tapi aku senang, karena bisa menyaksikan langsung seremoni sakral pernikahan dalam balutan adat tradisional secara menyeluruh. Jarang sekali bisa melihat sebuah upacara adat dari awal hingga akhir, meskipun dilangsungkan di tanah ibukota.
Saat pulang, bapak menegur, mengingatkan bahwa usia yang memasuki seperempat abad artinya kedua kaki telah sah berada di area hidup orang dewasa. Tiada lagi perilaku sembrono, tiada lagi miskin tanggung jawab, tiada lagi spontanitas bertindak. Semua hal yang dilakukan harus dengan pertimbangan matang, rencana jangka panjang, dan disertai tanggung jawab atas segala konsekuensi terkait.
Barangkali ada hubungannya dengan mobil mogok yang tak selesai hari ini perbaikannya pikirku.
Namun, ledekan dan sindiran teman-teman untuk segera menyusul mempelai wanita (yang kebetulan merupakan mantan pacar cinta monyet jaman SMU), membuatku berpikir untuk mulai merencanakan hidup setidaknya untuk setahun ke depan. Aku mulai berpikir apa yang akan kulakukan seandainya kesempatan untuk sekolah lagi tak kunjung tiba. Kemana aku akan lanjut bekerja setelah kontrak kerja habis di penghujung tahun 2011 ini. Seperti apa kehidupanku selama lima tahun ke depan. Semuanya membuatku bertanya dan mulai tergerak untuk merencanakan. Tapi, hasrat ini belum sedemikian tergerak untuk melakukan penjadwalan secara mental.
Pemicu hari ini, pernikahan kawan, ulang tahun ke-25, mobil mogok yang bikin ricuh, semuanya terjadi bersamaan seolah mengingatkanku untuk mulai menjadi orang yang teratur. Mari…