Untuk Nenek tercinta
di alam sana,
Apakah Nenek ingat, waktu kecil cucumu ini suka meletakkan laba-laba karet mainan di rak sepatumu? Ingatan kami tidak pernah pudar tentang bagaimana Nenek sangat takut laba-laba sungguhan.
Apakah Nenek ingat, waktu kecil cucumu ini senang sekali numpang menonton televisi di kamarmu, membuat kotor kamarmu dengan remah makanan, tidur di kasurmu, hanya karena kamarmu lah yang nyaman bagiku?
Apakah Nenek ingat, waktu kecil cucumu ini sering sekali mengulang kata-kata yang kukira adalah kata favoritmu setiap kali engkau enggan akan sesuatu? Aku senang sekali mengucapkan “emoh” setiap kau minta aku makan tepat waktu, mandi sore seusai sekolah, cuci tangan sebelum makan, mengambil sayur lebih banyak saat makan malam, apakah engkau ingat Nek?
Apakah Nenek ingat, setiap hari selama jenjang sekolah dasar engkau senantiasa menunggu cucumu ini selesai bermain bola seusai jam pelajaran? Setelahnya engkau biasanya mengomel karena aku membuat engkau terlambat datang ke arisan sore bersama sahabat-sahabat karibmu, apakah engkau ingat Nek?
Apakah engkau tahu, setiap keusilan kami semata-mata ingin supaya engkau bisa lebih sering keluar kamar dan bermain dengan kami, para cucumu? Apakah engkau tahu, meskipun kami jarang menengok selepas kami dari jenjang SMA, tidak berarti kami melupakan engkau? Apakah engkau tahu, terlepas dari apapun yang kami perbuat sesungguhnya kami sangat sayang padamu?
Beribu kata maaf, terima kasih, aku sayang Nenek, tidak bisa menggantikan setiap peluh dan tetes air mata yang Nenek berikan di setiap pengorbanan yang kau berikan untukku. Aku tidak akan pernah lupa, bagaimana engkau senantiasa membelaku saat Bapak atau Ibu sedang marah-marah, mengingatkan mereka bahwa aku hanya anak-anak, cucumu yang kau nilai tak bersalah (meskipun di beberapa kesempatan memang aku yang bersalah sesungguhnya). Aku tidak akan menyiakan diriku saat ini yang secara historis dibangun dan disehatkan melalui sebotol teh dan semangkuk mie ayam di saat kau jemput sepulangku dari sekolah.
Ungu, asin, stroberi, soda, telenovela, arisan, senda gurau bertelpon, sidang tagihan telepon (di masa dimana para cucu sering menggunakan telpon rumah untuk pacaran), semua ini akan selalu mengingatkan aku tentang Nenek. Ungu, warna dominan di koleksi busanamu Nek. Asin, jika telur bebek terasa hambar maka engkau protes meskipun kami sudah meringis karena keasinan. Terkadang kau menyiapkan sebotol kecil Maggie penyedap rasa untuk sajian makananmu sendiri. Stroberi, entah itu sirup, es krim, kue, apapun asalkan stroberi engkau selalu menyempatkan mencicipi atau memakannya. Soda, hampir setiap minggu kau beli satu kerat minuman ringan bersoda sebagai teman makan malammu, terutama semenjak engkau pensiun. Bahkan hingga di hari-hari terakhir hidupmu. Telenovela, sajian televisi yang tak pernah engkau lewatkan sejak pertama kali disiarkan di televisi. Tak peduli apa kata orang lain, Fernando, Maria, Santiago, dan Luiz akan tetap selalu jadi sosok heroik romantika pertelevisian. Arisan, kegiatan sore hari dimana aku harus menemanimu di rumah sahabat karibmu selepas kau jemput aku seusai jam pelajaran terakhir. Senda gurau bertelpon, entah itu bahasa Jawa, bahasa Belanda, bahasa Inggris, atau bahasa Indonesia, setiap guyonanmu di telpon dengan kawan-kawanmu selalu jadi sesuatu yang membuatku tergelak hingga terkadang kau memarahiku. Terakhir, sidang tagihan telepon, beranjak dari masa kecil ke masa remaja, mengenal lawan jenis dan mulai tertarik membina hubungan, telepon rumah yang tagihannya selalu engkau bayarkan tiap bulan jadi satu senjata mutakhir untukku berpacaran di telpon. Tak bisa kulupa bagaimana “drama” awal bulan dimana setiap cucu yang tinggal di rumahmu kau panggil satu-persatu untuk mengecek daftar nomor telpon panggilan. Sungguh menggelikan dan seru kala itu!
Beberapa tahun silam, engkau jatuh sakit, terbaring lemah di kasur, para cucu silih berganti menunggumu di paviliun perawatan. Engkau dinyatakan boleh pulang beberapa minggu sejak hari pertama dirawat, namun hadirmu tidak bisa lagi seperti yang dulu. Usia dan penyakit mulai membatasi kebebasan dan gairahmu untuk hidup yang berapi-api. Bertahun-tahun kami jalani, puasa, lebaran, ulang tahun, di rumahmu. Tak pernah hilang gairah untuk menghibur dan mengingatkan engkau siapa kami, meski engkau sering lupa lawan bicara setelah mengobrol beberapa menit saja. Hingga akhirnya kabar dukacita itupun tiba, “Nenek udah nggak ada Yo” ujar Ibu yang mengagetkan aku di siang hari.
Selamat jalan Nek, semoga Nenek senang dan tenang di alam sana. Bisa berkumpul dengan para saudara yang sudah mendahului Nenek. Semoga Nenek bisa bersenda gurau, minum soda, makan es krim stroberi, dan menonton telenovela di surga kelak (amin). Sekian suratku ini Nek, aku takut laptop pemberian hasil jerih payah anakmu jadi rusak karena kutetesi air mata sambil menulis.
Salam Sayang Untuk Nenek,
Cahyo Pratomo Amiseso
cucumu nan sipit dan nakal
😥