Abaikan walau sejenak, terasa seabad lamanya.
Dingin walau sementara, terasa abadi selamanya.
Pojokkan walau sebentar, terasa sangat memakan usia.
Palingkan wajah walau sesaat, terasa sepanjang hayat.
Hempaskan saja aku, gegabahku berkata dalam hati.
Entah apa yang sedang terjadi, kupikir dalam benak ini.
Seolah tak ada di dunia, tak pernah berkesan, tak paham ada apa gerangan.
Sebatas balasan pesan dan senyum singkat, alih-alih canda tawa dan peluk hangat.
Resah gelisah dalam gegap gempita,
Redup redam jelang gelap gulita.
Diri ini gundah separuh merana.
Hari-hari terasa kelam, seolah esok kiamat dunia.
Kemana aku dan kau, kita?
Dimana aku dan kau, kita?
Apa itu ‘kita’, aku dan kau?
Sudahkah, ‘kita’, aku dan kau?
Mungkin memang telah tiba saatnya agar jemari ini yang tadinya mengalami hendaya kreativitas kembali menemani otak yang layak diasah menyusun kata, dalam lingkungan cendekia, mengkaji hidup mereka yang terganggu dan membutuhkan pertolongan kami.
Demikian adanya, kembali sajalah kami pada tugas sebagaimana diamanatkan di awal perjanjian kehidupan akademi. Tak perlu pikirkan lain hal, cukup kami, susunan kata, dan kajian hidup mereka. Kesampingkan sejenak dorongan dan kebutuhan egosentris. Semoga hari esok kian cerah.