Malam begitu pekat ditemani suasana syahdu kegelapan. Terkadang kutatap bintang jauh di sana sambil berpikir apa gerangan perlunya semua ketiadaan pendar apapun ini. Sepi, sunyi, sendiri, tanpa siapapun yang berarti ada di sekitarku. Makin liar benak menggeliat memuntahkan ide-ide ajaib yang terkadang sulit diterima logika orang lain yang mendengarkan saat kututurkan kepadanya cerita-cerita yang terkesan seperti dibuat-buat. Sialnya, itu semua benar terjadi walau dalam pikiranku semata.
Kembali tepekur dalam kegelapan, mencari makna dibalik hilangnya penglihatan. Apa maksud dari semua ini, apakah aku diajak untuk melihat dengan telinga, merasa dengan hati, dan meraba dengan tangan? Lalu bagaimana seandainya aku berjalan dan berlari kemudian terjatuh tersandung apapun dan terantuk apapun. “Peduli setan”, kata suara entah darimana, “salahmu sendiri nekat menerobos alam yang bahkan tidak pernah kau jalani sebelumnya”, sambungnya.
Merintih aku mencoba berdiri perlahan menahan sakit akibat terjatuh tadi. “Tidak mudah”, pikirku sambil menepis debu yang tak terlihat dalam gelap ini. Aku kembali duduk terdiam, merenung, untuk apa sesungguhnya aku diletakkan dalam kegelapan yang tak jelas kapan berakhirnya. Kupikir aku harus mencoba untuk menggunakan indera yang lain, tidak semata dengan apa yang biasa kuandalkan. Mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, tangan untuk meraba, lidah untuk mengecap, dan mulut untuk berujar. “Tapi apa? Apa?!” protesku membatin tanpa bersuara.
Aku teringat masa-masa dimana kuraih kegemilangan dengan mengandalkan kelima panca indera. Kulihat kesempatan di depan mata, kudengar cara dengan telinga, kucoba kerjakan dengan pikiran dan ayunan tangan serta kaki, kusampaikan dengan lantang apapun yang menurutku perlu untuk diutarakan bagi khalayak, dan terakhir kuhirup aroma kesuksesan atas hasil kerja keras mengulang dan mengasah kebiasaan-kebiasaan tadi. Lantas apa, apalagi yang perlu kucari lagi? Bergelimang uang dan harta, kesuksesan dan karir yang memiliki kemilau bahkan bisa menyaingi pijar mentari siang hari. Dikerumuni orang-orang yang senantiasa mengelukan nama seraya memohon berbagi nasib baik. Terlepas semua itu, terkadang sepi kurasakan, hampa kualami, kosong kuhadapi. Kondisi-kondisi yang tak bisa dipahami oleh kelima indera bahkan akal pikiran liarku ini.
Namun…
Nun jauh di dalam sana, aku dengar sesuatu berkata, “gunakan aku”. Kucoba memasang telinga mendengarkan dengan seksama, tak ada suara apapun. Kucoba gerakkan tangan meraba sekelilingku, tak kutemukan apapun juga. Aku kembali terdiam, kemudian ‘terdengar’ kembali ia ‘berbicara’, “manfaatkan aku…rasakan dengan penghayatanmu…rasakan aku…”, katanya. Aku coba pejamkan mata walau tanpa guna lantaran sudah gelap, kututup telinga erat, kukosongkan pikiran dan mencoba mencari apa gerangan yang dari sejak tadi seolah mencoba menyampaikan sesuatu padaku.
Sanubari…hati…ya, ia yang dari tadi meminta dan berbicara padaku. Sungguh, tak pernah kusangka sebelumnya, ia yang selama ini kuanggap tak ada dan kuabaikan karena tak pernah ada wujud dan kontribusinya, dengan gegap gempita menyorongkan hakikatnya kepadaku. Maka kucoba berdialog dengannya, menanyakan apa maunya, singkat saja ia berkata bahwa ia hanya ingin digunakan beriringan dengan bagaimana aku menggunakan semua daya guna fisik dan inderaku selama ini. Aku heran dan bertanya sesungguhnya untuk apa perlu kugunakan keberadaannya yang bahkan selama ini tidak pernah kupikirkan?
Ia ajak diriku mengenang, bagaimana menjalani gelimang harta dan sukses dengan sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh akal sehatku sendiri. Ramai dan pesta pora di tepian namun kosong melompong di tengahnya. Ia ajak diriku memikirkan bagaimana mengalami masa-masa dimana aku mengulang bak mesin cara-cara yang sama untuk meraih keberhasilan selama ini tanpa ada apapun yang bisa kupetik lebih dalam dari sekedar materi. Kemudian ia bertanya apa yang sebetulnya kucari dari semua itu. Aku tidak bisa menjawab, lidahku kelu, pikiranku kaku dan penuh dengan kemelut berusaha mencari jawaban.
Melihatku bingung, hatiku bertanya, “kau tahu apa itu bahagia? Bahagia adalah suatu perasaan dimana dirimu merasakan kesuksesan yang dihayati bahkan tidak sepenuhnya bisa dipahami oleh akal dan kelima indera karena mereka hanya bisa terbuai olehnya”. Akupun bertanya bagaimana rasanya bahagia dan hatiku menjawab bahwa sulit utuk rasakan jika tak pernah ia digunakan. Gelisah, penasaran, apa itu bahagia dan kenapa seolah terdengar menyenangkan dan terasa sangat mengasyikan, maka aku katakan padanya “duhai, aku mau mencoba untuk menggunakan engkau untuk bisa membuka perasaan dan tahu apa itu bahagia”.
Seolah hati tersenyum dan ia berkata padaku, “mari…gunakan aku…”. Dalam kegelapan itupun aku mencoba menutup semua apa yang sedari awal kucoba dengar, lihat, raba, dan hidu. Aku mencoba merasakan, mencari arah, berjalan perlahan mengikuti apapun yang kurasakan menyenangkan dan nyaman di hatiku. Aku berjalan perlahan, mendekati sesuatu yang kurasakan hangat dan nyaman. Aku terhenyak, “inikah bahagia?” pikirku. Seolah mengangguk, kuikuti kemana hatiku meminta ragaku bergerak, berjalan semakin jauh menuju kehangatan itu. Perlahan bisa kurasakan ada kehangatan, sinar terang, dan aroma menyenangkan yang mengusik inderaku. Aku mencoba mengenali dengan akal dan memikirkan apa gerangan yang memungkinkan aku merasakan nyaman dan tenang namun sekaligus terpacu secara indrawi.
Maka…kuhentikan langkahku…kugerakkan tanganku, meraih sesuatu. Kuhirup aromanya, menyenangkan rasanya. Kucoba kenali dan pikirkan apa gerangan yang bisa membuatku merasa tak karuan namun senang macam ini, sekali lagi pikirku “inikah bahagia?”. Perlahan kuberanikan untuk membuka mata, indera yang mungkin perlu membantuku melihat agar jelas apa yang kupikirkan dan kurasakan sejauh ini.
Terbuka mataku, membelalak. Tergerak bibirku, melebar. Bergidik bulu romaku, menggeliat di kulitku. Kembang-kempis hidungku, menghidu dengan gegabah. Terbuai hatiku, merasakan tenang dan nyaman. Terjawab tanyaku dan pikirku, apa yang ada di hadapanku ini.
Kulihat ada…kamu…