Lima Desember Setahun Yang Lalu
Kubaru saja bersandar di hangatnya kesunyian rumah ketika kau berkabar tulisan katakan kau sedang sendiri menanti esok pagi. Berharap semua lebih cerah dan bernafas lebih lepas.
Ku terhenyak di tengah upayaku meraih sepiring nasi kuning. Hidangan ultah adikku di lima Desember tahun itu.
Tak mungkin kunikmati seluruh berkat ini tatkala kutahu engkau sedang lemah lunglai tak berdaya.
Larutnya malam telah menjadi musuhmu dalam beberapa waktu lamanya. Udara dingin dan perut yang hampa semakin memperkeruh suasana. Tenggat tak memberi kita ampun untuk sejenak memberi istirahat raga. Perjuangan semata wayang demi sukses dunia fana.
Nasi kuning hangat tak terasa begitu mengenyangkan. Tidak tepat kenyang sendiri namun ada orang di sisi sebelah sana yang kelaparan tanpa kesempatan mencecap sedikit rasa selain obat-obatan semata.
Bergegas ku beranjak dari dipan kayu berbalut bantal beludru. Mengambil kotak makan terdekat dan mengisinya dengan nasi, empal, dan perkedel kentang.
Tak lupa kubawakan juga parasetamol agar hilang juga pusing kepala itu.
Tiba aku di persinggahanmu, kau jemput dengan kain ala kadarnya. Sekedar membungkus lemah ragamu yang berkehendak membukakan pintu bagi tamu pemalu. Lekas masuk ku ke ruang tengah menyusuri menuju ke dapur. Bergegas membukakan berbagai penganan agar engkau bisa segera mengisi perut yang seharian hampa.
Wajahmu segera kembali merona. Aliran darah kembali menyelimuti ragamu. Bibir pucat yang terpaksa menarik sudut pipi untuk tersenyum santun sudah mulai memerah kembali. Engkau pun sudah bisa tertawa walau sedikit.
Lima Desember setahun yang lalu. Momen titik balik saat aku mulai kembali membuka diri. Merasakan iba dan derita sekeliling setelah sekian tahun mengurung hati. Tak sangka nasi kuning dan perkedel hangat juga ikut menghangatkan jiwaku dan tak hanya ragamu.