Ada peribahasa mengatakan, “jauh di mata, dekat di hati“. Maksud yang saya tangkap dari ujaran ini adalah, boleh terpisah jauh secara duniawi, tapi keberadaan dan hadirnya tetap lekat di sanubari. Jarak tidak menjadi suatu masalah bagi seseorang untuk bisa menghargai dan mencintai, apapun, siapapun, yang kelak memang menjadi hasrat dan tujuan hidupnya. “Jauh di mata” di sini barangkali juga bisa berarti kondisi, ketentuan, kebiasaan, yang berbeda sama sekali dengan apa dimiliki diri, namun tetap disikapi sebagai sesuatu yang menarik hati.
Pertentangan seolah muncul saat ada juga peribahasa yang menyatakan “gajah di seberang lautan tampak, semut di pelupuk mata tak tampak“. Manusia cenderung mencari sesuatu yang besar, yang megah, namun jauh dari genggaman tangannya, seolah mustahil untuk dikejar mengingat harus menyebrangi lautan. Sementara ada sesuatu yang kecil, sederhana, namun memiliki pengaruh dan keberadaan yang sesungguhnya berarti. Bayangkan, siapa yang tidak panik jika suatu saat matanya kelilipan seekor semut?
Masih juga tentang sanubari, teori pemaparan berulang (repeated exposure) yang pernah saya baca di sebuah buku psikologi sosial (saya lupa data pustakanya). Teori ini mengisyaratkan bahwa sesuatu bisa menjadi kesukaan asalkan secara berulang kali terpapar dengan diri. Musik yang dianggap menyebalkan bisa menjadi disukai dan kelak kepala kita bergoyang mengikuti irama jika secara konsisten kita dibuaikan setiap harinya oleh musik yang kebetulan disetel oleh (misalnya) supir angkot yang selalu kita naiki untuk berangkat ke tempat kerja. Sesungguhnya, jauh atau dekat seolah tidak menjadi masalah, segala sesuatu bisa melekat dalam hati asalkan senantiasa berulang dialami dan akhirnya bisa dinikmati.
Dari sini sebetulnya saya hendak postulasikan bahwa kita sebagai manusia senang (dan barangkali terbiasa) untuk mengejar hal-hal yang jauh. Senantiasa berusaha mendekatkan hal-hal tersebut agar melekat dalam sanubari sehingga mengabaikan hal kecil lainnya yang sesungguhnya berada dekat dengan diri. Kebiasaan ini yang membuat kita menjadi merasa ‘dekat’ pada akhirnya merasa nyaman (dan barangkali mencintai) bahkan untuk hal-hal mustahil nan jauh sekalipun.
Satu renungan pribadi, apa yang terjadi seandainya kita memutuskan untuk membiasakan diri mengejar yang terdekat dan membuat diri nyaman terhadapnya? Saya pikir proses pengambilan keputusan akan hal tersebut yang menjadi penting. Tidak sedikit juga barangkali orang-orang yang mengambil sesuatu yang dekat dengan diri mereka, membiasakan diri menggapai yang terjangkau kedua tangan dan dalam pandangan mata. Kenyamanan yang berada dalam jangkauan kedekatan, barangkali begini membahasakannya secara mengawang-awang.
Apakah lantas kemudian menjadi salah untuk mengejar yang terjauh? Tidak juga, peribahasa lahir untuk menggambarkan kondisi yang pernah ada, bukan untuk menyalahkan pihak-pihak yang menjalani kondisi tersebut. Lakukan saja mana yang menurut pikiran dan hati bermakna, semut atau gajah sama saja yang penting melekat dalam sanubari, sejahtera duniawi, dan semoga kelak bahagia surgawi.
ya, barangkali tercetus dalam pikiran Anda “hati-hati dengan zona nyaman”… dibalik saja, ubah kebiasaan jauh menjadi yang dekat, kembangkan diri Anda… hal serupa berlaku sebaliknya… terbiasa dekat? carilah yang jauh…